Faperta IPB

Copy of DSC_0452

Siaran Pers – Krisis Multi Dimensi Di Kawasan Puncak Dan Aksi Kolektif Multi Pihak Untuk Penyelamatannya

NEWS

Siaran Pers – Krisis Multi Dimensi Di Kawasan Puncak Dan Aksi Kolektif Multi Pihak Untuk Penyelamatannya

[boc_heading html_element=”h5″]Siaran Pers – Krisis Multi Dimensi Di Kawasan Puncak Dan Aksi Kolektif Multi Pihak Untuk Penyelamatannya [/boc_heading]

Konservasi Hulu Cai
Peringatan Hari Bumi
Krisis Multi Dimensi di Kawasan Puncak dan Aksi Kolektif Multi Pihak untuk Penyelamatannya

Bogor, 22 April 2014.
 Perubahan dua wilayah perkebunan teh di Puncak disinyalir memperparah kerusakan tutupan lahan. Sejak pertama kali didirikan sejak jaman Belanda, luas perkebunan teh telah berkurang hingga setengahnya. Perubahan tutupan lahan di perkebunan teh menjadi villa telah berlangsung sejak tahun 1970-an. Saat ini perubahan tutupan lahan ini telah berpengaruh nyata terhadap kemampuan wilayah Puncak sebagai Daerah Tangkapan Air.

c???????????? ???? ????
????????? ???????? ?????? ? ???????

Kawasan puncak adalah hulu berbagai  persoalan lingkungan sungai Ciliwung. Degradasi kawasan puncak dan menurunnya daya dukung lingkungan kawasan ini berdampak penting terhadap timbulnya berbagai persoalan lingkungan di hilir sungai ciliwung termasuk kota Jakarta.

Berdasarkan informasi yang didapatkan selama pengumpulan informasi (pendekatan pemetaan partisipatif) di Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan, tidak hanya Perkebunan Ciliwung (PT Sumber Sari Bumi Pakuan) milik swasta yang tidak mampu mempertahankan luas wilayahnya, bahkan PTPN VIII (Perkebunan Teh Gunung Mas) pun telah mengalami pengurangan lahan yang
sangat signifikan. Pada masa pemerintahan Kolonial wilayah-wilayah ini telah diperuntukan sebagai daerah perkebunan yang masing-masing memiliki luas 1.200 ha (Rudi Johar pers comm). Pada saat ini perkebunan teh PTPN hanya memiliki luas sekitar 500-an ha dan PT Ciliwung tinggal 660 ha, berdasarkan pengukuran ulang yang dilakukan pada tahun 1990-an.

Di Desa Tugu Selatan villa pertama berada di dekat kantor desa, yang dimiliki oleh Sutan Takdir Alisyahbana (alm) sejak sekitar tahun 1970-an. Pada saat tersebut wilayah puncak masih dihiasi oleh rindangnya pohon-pohon besar, bahkan pemukiman pekerja teh masih harus dicapai dengan berjalan kaki. Perubahan-perubahan wilayah menjadi villa di desa ini terjadi sejak tahun 1980-an. Salah satu ciri bahwa wilayah ini adalah daerah yang hijau, daerah di dekat RW 15 dikenal dengan sebutan Awi Iyuh yang berarti rumpuh bambu yang teduh.

Tidak beda halnya dengan Perkebunan Teh Gunung Mas, Perkebunan Teh Ciliwung terdesak dengan berbagai tekanan yang pada akhirnya wilayah ini pun berkurang luas lahannnya. Perubahan-perubahan luas perkebunan memiliki implikasi yang besar, terhadap masyarakat dan perkebunan teh itu sendiri. Perubahan luas lahan Perkebunan ini diperkirakan berimplikasi langsung terhadap Pabrik Teh PT. Ciliwung sehingga tidak beroperasi lagi. Seharusnya pabrik tersebut dapat beroperasi secara optimal dengan pasokan luas teh seluas 1200 ha, dengan luas saat ini yang 562 ha teh langsung dijual ke luar perkebunan.

“Saat ini cukup sulit untuk dapat mengetahui secara pasti, sejak kapan, dimana, berapa luas, dan oleh siapa perubahan wilayah perkebunan teh. Hampir mustahil jika tidak ada keterbukaan informasi dari pihak yang berwenang untuk kembali membuka diri dan menata wilayah Puncak sesuai dengan hukum yang berlaku,” papar Ernan Rustiadi dari P4W IPB. Berdasarkan informasi dari masyarakat wilayah ini sebelumnya adalah bagian dari Perkebunan Teh PT. Ciliwung, berturut-turut adalah  Kampung Cikoneng, Kampung Cisuren, Kampung  Batu Kasur dan terakhir Kampung Sukatani (tempat villa dibongkar).

Pembongkaran vila sebagai wujud penegakan hukum atas pelanggaran tata ruang dan perijinan di kawasan puncak jika tidak disertai dengan penanganan  akar persoalan-persoalan sosial, ekonomi lingkungan berpotensi menumbuhkan persoalan-persoalan lain.  Salah sat akar persoalan di balik maraknya pembangunan vila-vila yang melanggar ketentuan adalah praktek jual beli tanah negara khususnya pada kawasan perkebunan teh. Lemahnya kendali dan penegakan hukum atas praktek jual beli tanah yang melanggar ketentuan berlaku menurunkan persoalan tata ruang yang tidak kunjung habis-habisnya.

Persoalan ini berkaitan dengan kurang berkembangnya pilihan aktivitas ekonomi masyarakat yang berkelanjutan. Berbagai aktivitas wisatawan domestik, bisnis prostitusi dan maraknya aktivitas  komunitas pendatang dari mancanegara khususnya dari timur tengah turut berpengaruh terhadap kehidupan sodial budaya masyarakat lokal.

Hari Yanto dari Forest Watch Indonesia menyatakan, “Apakah wilayah puncak masih mampu memberikan fungsi wilayahnya dengan baik, terutama fungsi tata air? Jika melihat kondisi saat ini dan tidak ada perubahan pola pengelolaan wilayah yang nyata, tentunya hal ini akan semakin sulit dicapai”. Di dua wilayah desa ini, Tugu Utara dan Tugu Selatan daerah hijau yang masih dapat menyerap air dengan baik,  kemungkinan hanya di sekitar wilayah Sungai Cisampay. Rumpun bambu di sekitar Kampung Cisampay ini diperkirakan memiliki luas tidak kurang dari 5 ha.

Berdasarkan beberapa penelitian yang ada, perkebunan teh bukanlah penyerap air yang baik, bahkan memiliki tingkat erosi yang tinggi. Secara tidak langsung penelitian-penelitian tersebut mendapatkan pembuktian nyata dari masyarakat. Kebutuhan air di Puncak sejak sekitar tahun 2000-an telah berubah dari pemanfaatan air sungai dan sumur menjadi hubungan yang sangat erat dengan mata air. Pipa dan selang air telah menjadi tulang punggung bagi masyarakat setempat untuk mendapatkan air minum, bahkan villa pun memanfaatkan air dari mata air-mata air ini.

Sampai kapan mata air ini masih dapat bertahan? Penuturan dari kelompok-kelompok masyarakat menyatakan bahwa kondisi mata air yang berada di wilayah-wilayah perkebunan telah menuju kritis, banyak mata air yang semakin keruh karena erosi tanah yang ada di Perkebunan Ciliwung dan Gunung Mas, kondisi ini semakin menyulitkan pada saat tiba musim kemarau. Walau sumur dapat digali, namun air tanah yang ada keruh karena dangkal.

Penanganan persoalan kebiasaan membuang sampah dan limbah ke Sungai Ciliwung juga perlu dimulai dari hulu persoalan, dari hulu Sungai Ciliwung di Kawasan Puncak. Upaya mengubah kebiasaan dan kemandirian masyarakat mengelola sampah memerlukan dukungan banyak pihak. Baik melalui penguatan kelembagaan, pemberian fasilitas kebersihan dan pengolahan sampah/limbah hingga dukungan kebijakan pemerintah maupun pemuka agama.

Tedja Kusumah, penduduk yang bermukim di wilayah Puncak sangat gundah dan emosional dengan kondisi ini. “Siapakah pemilik-pengelola tanah di wilayah ini dan untuk siapa atau untuk apa wilayah ini? Apakah hanya dijadikan wilayah wisata tanpa memperhatikan lingkungan? Apakah wilayah dan masyarakat setempatnya memang telah diposisikan untuk selalu menjadi Objek Penderita?,” sengutnya. Ternyata tidak hanya sampai disini, selanjutnya Tedja pun menambakan, “Paling Isu Ciliwung hanya ada di musim hujan, jika kemarau telah mulai saya yakin, Puncak pun akan dilupakan. Jika ini terjadi lagi, hal ini semakin meyakinkan saya bahwa wilayah dan masyarakat di Puncak hanya Objek Penderita dari gemerlapnya pembangunan”.

“Saat ini seharusnya bukan Pendapatan Asli Daerah yang menjadi prioritas melainkan lingkungan hidup karena Puncak adalah penyangga jutaan penduduk di JABODETABEK. Bagaimana bisa menjadi penyangga yang baik kalau untuk menyangga daerahnya sendiri sudah tidak mampu karena semakin berkurangnya daya dukung lingkungan”,  lanjut Teja Kusumah dari Komunitas Ciliwung Puncak.

Kampanye dan Ajakan bergabung dalam aksi  bersama
Persoalan lingkungan di kawasan puncak membutuhkan pendekatan-pendekatan yang tepat dan menyentuh kebutuhan masyarakat setempat. Pendekatan penegakan hukum akan sia-sia jika tanpa disertai upaya menghidupkan aktivitas ekonomi lokal yang berkelanjutan.

Gerakan aksi penyelamatan kawasan puncak adalah upaya untuk menghimpun partisipasi para pihak (pemerintah pusat dan daerah, masyarakat lokal, dunia usaha, dan akademisi) sesuai dengan kapasitasnya masing-masing di dalam penyelamatan keberlanjutan kawasan puncak. Kawasan puncak menyimpan berbagai peluang usaha bagi lomunitas lokal yang lebih ramah lingkungan dan tidak berbasis pada eksploitasi sumberdaya fisik lingkungan.

CATATAN UNTUK EDITOR:

–  Komunitas Ciliwung Puncak merupakan sekelompok masyarakat yang memiliki visi, misi, dan kepedulian terhadap lingkungan. Salah satu yang menjadi perhatian adalah alam di Kawasan Puncak sebagai kawasan penyangga ibu kota. Saat ini buffer zone tersebut sudah rusak dan berubah menjadi kota kumuh tanpa perencanaan. Fokus KCP adalah mencari solusi tentang sampah juga kampanye lingkungan tentang penanaman pohon bambu dan aren. Informasi lebih jauh tentang puncak.org bisa diakses melalui http://puncak.org.

–  Ciliwung Institute (CI) merupakan forum kerja yang digagas untuk mewadahi kegiatan komunitas yang bergerak dalam upaya penyelamatan Daerah Aliran Sungai Ciliwung. Lingkup kegiatannya mulai dari Puncak Kab. Bogor, Kota Bogor, Bojonggede Kab.Bogor, Depok hingga Jakarta. Forum yang dibangun dari beragam isu ini mencoba mengangkat potensi Ciliwung yang dilihat dan dilakukan dari berbagai sudut pandang. Keberagaman ini merupakan kekuatan Ciliwung Institute untuk mengemas kampanye penyelamatan Ciliwung yang disuarakan menjadi sederhana dan mudah diterima oleh berbagai kalangan. Informasi lebih jauh tentang CI bisa diakses di http://ciliwunginstitute.org.

–  Divisi Perencanaan dan Pengembangan Komunitas, Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (P4W) IPB adalah sebuah divisi pada sebuah lembaga penelitian di bawah Institut Pertanian Bogor yang memfokuskan diri pada kegiatan penelitian yang terkait dengan perencanaan wilayah, pengembangan wilayah pada lingkup kepulauan, negara berkembang dan pedesaan atau pertanian. Divisi ini memfokuskan kegiatannya pada isu-isu the commons dan pendekatan partisipatif. Informasi lebih jauh dapat diakses http://www.p4w-ipb.com

–  Forest Watch Indonesia (FWI) merupakan jaringan pemantau hutan independen yang terdiri dari individu-individu dan organisasi-organisasi yang memiliki komitmen untuk mewujudkan proses pengelolaan data dan informasi kehutanan di Indonesia yang terbuka sehingga dapat menjamin pengelolaan sumberdaya hutan yang adil dan berkelanjutan. Organisasi ini berbasis di Bogor. Informasi lebih jauh mengenai organisasi ini dapat dijumpai pada website http://fwi.or.id.

–  Komunitas Peduli Ciliwung (KPC-Bogor) merupakan kelompok masyarakat yang berupaya menginspirasi warga terhadap pentingnya lingkungan sungai yang sehat. Sejak awal berdiri selalu mengedepankan arti dari kesederhanaan dan teladan berbanding aktivitas yang sulit sekali ditiru. Oleh karenanya pilihan-pilihan kegiatan adalah memungut sampah di sungai dan menanam pohon pada bantaran sungai. Informasi lebih lanjut dapat dilihat di http://tjiliwoeng.blogspot.com.

–  Daerah Tangkapan Air merupakan wilayah yang berfungsi sebagai penangkap air sementara pada wilayah puncak dan punggungan suatu daratan. Wilayah ini dicirikan dengan kemampuannya untuk  menahan air dan menyalurkannya ke dalam tanah sebelum dialirkan kembali ke permukaan. Semakin lebat dan asli vegetasi yang berada di wilayah ini secara otomatis kemampuannya pun semakin baik. Contoh dari hubungan yang baik dari Daerah Tangkapan Air adalah keberadaan wilayah berhutan di Gunung Rinjani, Pulau Lombok. Kehilangan tutupan hutan di kawasan Gunung Rinjani, otomatis akan mematikan kehidupan pertanian dan perkebunan di pulau tersebut.

–  Dari enam Daerah Aliran Sungai di Kabupaten Bogor yang menghilir ke Propinsi DKI Jakarta, hanya  DAS Ciliwung yang memiliki tutupan hutan, itu pun hanya seluas 3.565 ha (12,22%). Secara total prosentase  tutupan  hutan  dari  enam  buah  DAS  yang  menghilir  ke  Propinsi DKI  Jakarta  hanya 4,30%, sangat kritis untuk menyangga Jakarta.

–  DAS Ciliwung dengan luas total mencapai hampir 39.000 ha, dan 29.000 ha bagiannya ada di Kabupaten Bogor. Tutupan hutan berupa hamparan yang tersisa hanya 9,2%, terletak di bagian hulu, yaitu Kawasan Puncak. Sangat kecil dan masih akan mengecil. Pada periode tahun 2000-2009 tutupan hutan yang musnah di DAS Ciliwung mendekati 5.000 ha, sedikit lebih luas daripada Kota Sukabumi.

KONTAK UNTUK WAWANCARA:

Tedja  Kusumah, Koordinator puncak.org
E-mail: save@puncak.org
Telepon: 085213154918

DR. Ernan Rustiadi, M.Agr, Dekan Fakultas Pertanian, IPB, dan peneliti senior pada Pusat Pengkajian
dan Pengembangan Wilayah (P4W), Institut Pertanian Bogor
E-mail: ernan@indo.net.id
Telepon: 0812 947 1939

Sudirman Asun, Ketua Ciliwung Institute
E-mail: sudirmanasun@yahoo.com
Telepon: 02171140277 atau 081212125108

Hari Yanto, Staff Kampanye Forest Watch Indonesia
E-mail: hari@fwi.or.id
Telepon: 08561235298

Document

[boc_img_gallery columns=”2″ fixed_size=”yes”]