Faperta IPB

Copy of DSC_0452

Pemanasan Global, Pertanian, Dan Ekosistem [Bagian 2]

NEWS

Pemanasan Global, Pertanian, Dan Ekosistem [Bagian 2]

[boc_heading html_element=”h5″]Pemanasan Global, Pertanian, Dan Ekosistem [Bagian 2][/boc_heading]

Tulisan ini merupakan bagian kedua dari tiga tulisan ilmiah populer tentang pemanasan global dan dampaknya pada pertanian dan ekosistem. Informasi pada tulisan ini diperoleh dari berbagai sumber dan laporan Intergovernmental Panel on Climate Change merupakan sumber utama.

Tulisan pertama mendeskripsikan tentang pemanasan global dan teori tentang penyebab utamanya.Tulisan kedua menggambarkan dampak pemanasan global pada pertanian dan ekosistem.Tulisan ketiga merupakan pemikiran tentang apa yang kita bisa lakukan dalam menghadapi pemanasan global.

Bagian kedua dari Tiga Tulisan: Pemanasan Global, Pertanian, dan Ekosistem

 

Pemanasan Global dan Curah Hujan
Peningkatan suhu meningkatkan kemampuan udara dalam menahan uap air (water holding capacity). Setiap peningkatan 1?F (~0.6?C) jumlah uap air yang dapat dipegang meningkat 4%. Uap air ini kelak turun sebagai hujan, jadi hujan yang turun akan meningkat pula. IPCC melaporkan bahwa frekuensi terjadinya curah hujan lebat meningkat (makin sering) dalam 50 tahun terakhir. Beberapa laporan menyebutkan bahwa pola curah hujan di beberapa daerah berubah; intensitas semakin tinggi, namun durasinya semakin pendek. Hal ini berarti musim keringnya semakin panjang, sementara curah hujan yang tinggi berpotensi merusak tanaman, mengakibatkan banjir dan erosi.

Di sisi lain, peningkatan suhu meningkatkan evaporasi sehingga wilayah-wilayah yang sudah kering semakin kering. Kekeringan yang terjadi bersamaan dengan suhu tinggi meningkatkan peluang terjadinya kebakaran hutan.
Air laut yang menjadi lebih hangat akibat kenaikan suhu global memberi lebih banyak energi pada badai-badai tropis. Kondisi ini bagaikan memanaskan air dalam panci sehingga airnya menguap. Uap air bergerak ke atas dan mencapai lapisan udara dengan tekanan dan suhu yang lebih rendah, lalu berkondensasi dan berubah kembali menjadi air.

Yang kerap tidak kita sadari ialah bahwa proses kondensasi membebaskan panas/energi. Jadi perairan laut yang hangat memberi energi lebih banyak ke dalam badai tropis sehingga badai menjadi lebih kuat dan destruktif. Jumlah badai kategori 4 dan 5 di Amerika dilaporkan meningkat dalam 35 tahun terakhir. Badai Katrina yang terjadi di Amerika Serikat tahun 2005 merupakan badai terparah dalam sejarah Amerika, dan mengakibatkan kerugian ekonomi sekitar $ 125 milyar dollar.

Perubahan curah hujan sangat besar pengaruhnya pada pertanian, terutama pada pertanian yang mengandalkan air hujan. Durasi hujan yang lebih pendek memperpendek musim tanam, dan intensitas hujan yang tinggi berpotensi merusak tanaman pertanian.

Pemanasan Global dan Pertumbuhan Tanaman
Kenaikan suhu lingkungan sampai batas tertentu mengakibatkan pertumbuhan tanaman lebih cepat dan pembungaan terjadi lebih awal. Ahli botani di Boston, Massachusetts melaksanakan program jangka panjang mengamati cuaca dan perilaku tanaman di wilayah Thoreau, USA dari tahun 1852 hingga 2006. Mereka melaporkan bahwa dalam kurun waktu ini terjadi kenaikan suhu lingkungan sebesar 2.4?C di wilayah itu dan pembungaan 43 species tanaman lokal terjadi 7 hari lebih awal.

Setiap species tanaman memiliki kurva respons pertumbuhan (vegetatif dan reproduktif) terhadap suhu dan memiliki kisaran suhu optimum tertentu untuk berbunga. Peningkatan suhu dapat mengakibatkan species-species ini gagal atau terlambat berbunga dan berbuah. Jika pembungaan dan pembentukan buah tertunda, masa panen akan tertunda pula. Pembungaan dan pembentukan biji pada tanaman jagung dilaporkan terganggu pada suhu di atas 35?C sementara kedelai di atas 38?C.

Berbagai tanaman indijenes (indigenous) di Australia berkembang biak melalui biji dan membutuhkan kisaran suhu sangat sempit untuk berbunga. Species-species ini terancam punah karena tidak mampu berbunga dan membentuk biji jika suhu lingkungan yang lebih tinggi dari biasanya.

Pemanasan Global dan Ekosistem
Migrasi insekta dan burung dari wilayah tropis ke belahan bumi Utara telah dilaporkan oleh para ahli biologi di Amerika Utara. Mereka juga melaporkan bahwa penetasan telur berbagai species unggas terjadi lebih awal. Peneliti unggas di Swedia melaporkan penurunan keragaman dan populasi species burung yang beradaptasi pada iklim dingin, dan peningkatan jumlah burung yang beradaptasi pada iklim hangat. Punahnya berbagai species burung berdampak pada rantai makanan dan jaringan kehidupan. Pemahaman kita tentang rantai makanan dan peran penting setiap titik rantai dalam jaringan kehidupan masih sangat terbatas. Dalam banyak kasus kita tidak sadar apa yang akan terjadi jika beberapa titik rantai terputus akibat species yang terlibat punah dan hilang dari sistem ini.

Penyakit malaria selama ini dikenal terjadi di daerah bersuhu hangat tropika. Penelitian ahli kesehatan masyarakat Universitas Diponegoro melaporkan bahwa penduduk yang tinggal di dataran tinggi/pegunungan (suhu relatif lebih sejuk ) di Jawa Tengah mulai terjangkit malaria. Para peneliti menemukan koloni nyamuk pembawa malaria (khususnya Anopheles dan Aedes) yang 20 tahun lalu tidak dijumpai pegunungan.

Pemanasan global berdampak buruk pada sektor perikanan. Peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfer meningkatkan jumlah CO2 yang diserap oleh air laut. Hal ini lambat laun mengakibatkan air laut yang basa (pH berkisar 7.6 – 8.3) menjadi masam. Akibatnya, terumbu karang dengan komponen utama CaCO3 – yaitu rumah dan tempat pembesaran ikan dan pelindung utama wilayah pesisir dari badai laut -perlahan-lahan larut.

Terumbu karang yang sehat berwarna warni akibat bersimbiosis dengan tumbuhan mungil yang tumbuh di laut, zooxanthella. Zooxanthella melakukan fotosintesis dan mensuplai kebutuhan energi bagi terumbu karang. Peningkatan suhu air laut mengakibatkan zooxanthella terlempar/terlepas dari karang sehingga karang kehilangan warnanya. Meningkatnya polusi dari daratan berupa limbah industri, sampah kota dan run-off pupuk dan pestisida dari pertanian yang terbuang ke laut mengakibatkan pemutihan dan kerusakan terumbu karang semakin parah.Karang yang rusak dapat pulih bila kondisi membaik, namun dalam kondisi parah akan mati karena kehilangan sumber energinya. Kematian terumbu karang akan mengakibatkan penurunan populasi ikan dan kehidupan laut.

Indonesia memiliki 17 480 pulau dengan garis pantai sepanjang 95 181 km. Sekitar separuh penduduk Indonesia merupakan masyarakat pesisir yang hidupnya tergantung pada hasil-hasil laut dan industri wisata laut. Peningkatan frekuensi badai laut, kenaikan muka air laut dan punahnya terumbu karang sangat mengancam kehidupan mereka.
Banyak penelitian telah dilakukan tentang pengaruh peningkatan suhu terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman dan hewan, namun sebagian besar masih dilakukan terkotak-kotak menurut disiplin ilmunya masing-masing. Dalam satu disiplin ilmu pun terkadang terjadi pemisahan-pemisahan tanpa didukung sistem komunikasi yang baik. Pengkotak-kotakan ini tercermin pula dari departemen-departemen dalam pemerintahan.

Diperlukan lebih banyak program dan kegiatan kolaboratif yang mengintegrasikan berbagai disiplin ilmu untuk memahami dampak kenaikan suhu, melakukan mitigasi dan mempelajari adaptasi yang diperlukan dalam menghadapai kenaikan suhu global (kst).

Document

[boc_img_gallery columns=”2″ fixed_size=”yes”]