Faperta IPB

1099521_720

Farming Smarter: Atasi Penurunan Pertanian Indonesia

NEWS

Farming Smarter: Atasi Penurunan Pertanian Indonesia

Oleh: Suryo Wiyono | Ketua Gerakan Petani Nusantara, organisasi petani berskala nasional di Indonesia, dan Wakil Dekan Fakultas Pertanian IPB University, Bogor, Indonesia. Karya Dr. Wiyono berfokus pada pengendalian hama terpadu dan pemberdayaan petani.

Indonesia terancam kehilangan sebagian besar petaninya dalam satu generasi. Dukungan pemerintah dan peningkatan teknologi pertanian dapat menahan tren tersebut.

Pada tahun 2063 tidak akan ada petani profesional di Indonesia, menurut Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Kaum muda tidak bergabung dengan industri ini, pertanian menjadi lebih mahal, dan petani tidak diperlakukan dengan adil dalam rantai pasokan produksi pangan yang panjang.

Lebih dari sepertiga (37 persen menurut sebuah penelitian) petani Indonesia berusia lebih dari 54 tahun. Sebaliknya, hanya 10 persen petani berusia antara 25 dan 34 tahun. Saat petani pensiun, semakin sedikit petani muda yang menggantikan mereka.

Pada tahun 1976, 65,8 persen pekerja bekerja di sektor pertanian, namun pada tahun 2019 jumlah tersebut turun menjadi hanya 28 persen. Penurunan jumlah pekerja belum diimbangi dengan peningkatan teknologi dan kualitas yang memadai di sektor ini.

Kekurangan tenaga kerja ini akan berdampak langsung pada proses produksi pertanian dan pada gilirannya akan mempengaruhi volume dan kualitas hasil pertanian. Sulitnya mencari tenaga kerja, terutama untuk pertanian pangan, mengakibatkan biaya tenaga kerja yang lebih tinggi. Ketika pertanian menjadi lebih mahal, semakin banyak petani akan menjual tanah mereka dan kecenderungan konversi lahan akan muncul.

Kecukupan pangan menjadi perhatian terbesar di tengah masalah yang terus berkembang ini. Produksi dalam negeri suatu negara mendukung kecukupan pangannya sehingga tidak bergantung pada pasokan dari negara lain. Ketika jumlah petani berkurang drastis, negara harus beralih ke produsen eksternal, yang memiliki prioritas sendiri dan mungkin tidak dapat diandalkan. Misalnya, selama pandemi COVID-19, banyak negara penghasil pangan yang enggan mengekspor pangannya karena fokus pada pasokan domestiknya sendiri.

Menurut penelitian Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan tahun 2015 dan IPB University, anak muda menganggap menjadi petani tidak menguntungkan. Mereka juga percaya bahwa tantangan bertani semakin meningkat dan risiko kegagalan semakin besar. Pemerintah memiliki peran penting di sini sebagai pembuat kebijakan. Salah satu alasan rendahnya pendapatan petani adalah kurangnya perdagangan yang adil di bidang pertanian. Petani menanggung risiko tinggi untuk waktu yang lama, tetapi mereka menerima keuntungan paling sedikit dibandingkan dengan orang lain dalam rantai distribusi ke konsumen. Kebijakan pemerintah yang memberikan insentif khusus kepada petani muda akan membantu mengubah persepsi generasi muda tentang pertanian. Peningkatan akses lahan dan kredit pertanian, perluasan jaringan dan informasi, serta penguatan kapasitas petani muda akan menunjukkan bahwa pertanian dapat menjadi agribisnis yang menguntungkan dan menarik. Kaum muda juga menganggap bahwa bekerja di sektor pertanian menuntut fisik.

Teknologi adalah peluang terbaik untuk mengatasi masalah tersebut, sehingga perguruan tinggi pertanian dan lembaga penelitian disarankan untuk menjadikan pengembangan teknologi pertanian sebagai prioritas utama. Di sisi produksi, teknologi ini akan memudahkan pekerjaan fisik yang dilakukan di lahan dan meningkatkan efisiensi, memangkas biaya produksi, dan meningkatkan margin keuntungan.Paradigma pembangunan pertanian menempatkan petani sebagai obyek. Kebijakan berorientasi pada hasil dan tidak mempertimbangkan dampak terhadap petani.

Petani memainkan peran kunci dalam produksi pangan, sehingga pemberdayaan mereka sangat penting. Pemberdayaan petani yang meliputi pembinaan dan peningkatan kompetensi teknis, partisipasi, dan akses terhadap sumber daya merupakan aspek penting dalam pembangunan pertanian. Jika petani tidak memiliki kapasitas yang memadai untuk menggunakan teknologi, maka teknologi itu tidak berharga, betapapun canggihnya. Petani yang berdaya akan menjadi petani yang tangkas, mampu beradaptasi dengan perubahan iklim yang cepat serta perubahan kehidupan sosial, perdagangan dan politik.

Masyarakat sipil dan asosiasi petani melakukan pekerjaan penting untuk memberdayakan petani, tetapi mereka membutuhkan dukungan pemerintah untuk memberikan dampak yang besar.Perpindahan tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor lain tidak akan membahayakan ketahanan pangan jika diimbangi oleh dua faktor: peningkatan keterampilan petani secara signifikan dan penerapan teknologi tepat guna. Negara-negara maju yang memiliki persentase petani yang rendah dan menghasilkan makanan yang cukup untuk penduduknya menunjukkan apa yang bisa dicapai. Pemerintah dapat mendukung sistem pengelolaan pangan menjadi lebih tangguh di tengah perubahan keadaan sehingga petani mendapatkan imbalan yang adil atas kerja kerasnya. Kebijakan pemerintah juga dapat memastikan pelaku industri pertanian berkolaborasi dengan petani. Dapat mendukung sistem pemanfaatan dan pengembangan teknologi yang mendukung kesehatan industri dan kesejahteraan petani. Pengetahuan petani merupakan tulang punggung pembangunan pertanian di Indonesia. Dengan dukungan pemerintah, peningkatan teknologi, dan bantuan dari organisasi petani, generasi petani Indonesia yang akan datang dapat diberdayakan sepenuhnya untuk mengatasi tantangan masa depan.

Awalnya diterbitkan di bawah Creative Commons oleh 360info™. *) PENAFIAN Artikel yang diterbitkan di bagian “Pandangan & Cerita Anda” di situs web en.tempo.co adalah pendapat pribadi yang ditulis oleh pihak ketiga, dan tidak dapat dikaitkan atau dikaitkan dengan sikap resmi en.tempo.co.

Sumber : https://en.tempo.co/read/1576974/farming-smarter-tackling-the-decline-in-indonesian-farming